2018/10/31

Family: Babygirl, Sufor dan Mertua

Sudah setahun lebih ternyata tidak menulis apa pun di blog ini.
Tetiba aja si empunya blog sudah punya baby girl, hahaha..

Bicara tentang babygirl, tentu ga lepas dari sebuah pernikahan kan ya..

Aku menikah tanggal 18 Agustus 2017 (sehari setelah hari kemerdekaan).
Setelah menikah, tinggal bersama dengan mertua dan sister in law.
Begitulah.. Seperti kata orang-orang: "sebaik-baiknya mertua, pasti akan ada perselisihannya
dengan menantunya".
Lha dengan ortu sendiri juga sering salah paham kan ya. Tapi karena ortu sendiri,
diam-diaman itu ga masalah. Ngeloyor pergi kerja tanpa pamit ke ortu no problem.
Coba kalau di rumah mertu, lagi kesal pun tetap harus sumringah pamit mau ke kantor.
Haduhh.. Padahal aku bukan tipe orang yang mampu menampilkan keceriaan
meski lagi dongkol. Aku itu tipe orang yang kalau lagi marah, ya marah saja. Ga pake sok senyum
di depan orang lain.

Lalu, apa perselisihan yang pernah kualami yang membuatku tidak ceria lagi?
Tidak terlalu berselisih paham langsung memang, atau adu pendapat atau saling sahut.
Tidak begitu.
Ketidakmampuanku menerima "perlakuan khusus" yang mereka berikan yang membuatku (akhir-akhir ini) pergi ke kantor setiap pagi tanpa pamit.

Di awal pernikahan, ayah mertua sering sekali menyebutkan kalau seorang perempuan itu "tidak cantik" jika belum melahirkan anak. WTH!!!  Akibatnya, ketika aku hamil pun, aku lebih suka pulang kerja malam agar tidak bertemu dengan ayah mertuaku. Toh ketika aku hamil, perlakuannya tetap sama saja. Sehingga setiap aku pergi kerja, aku jarang pamit kepadanya. Lebih sering pamit ke ibu mertua. Bahkan ketika hamil tua pun, aku mau kantor jam 8 malam.

Setelah lahiran, keceriaanku belum kembali. Bahkan rasa kesalku memuncak yang memaksaku meminta kepada suamiku untuk segera mendirikan rumah sendiri (yang berjarak setipis kulit bawang dengan rumah mertua) agar dapat segera pindah dari rumah mertua. Tak apa jarak tetap dekat, setidaknya dapur dan ruang tamu kami sudah beda.
Rasa kesalku memuncak karena "perlakuan khusus" mereka yang kusebutkan sebelumnya. Apanya yang khusus? Khusus karena bagiku perlakuan mereka "berlebihan". Ada yang meminta babygirl supaya tidur di kamar mereka (padahal usia baby masih 2 minggu, apa maksudnya memisahkan kami?), ada ucapan yang bilang bahwa ASIku tidak bagus (encer dan rasanya tidak disukai baby -baru tau istilah ini-), ada 'tekanan' supaya babygirl minum sufor saja, dan perlakuan mereka yang selalu menggendong babygirl dan akunya duduk manis saja nungguin mereka bosan menggendong lalu nyerahin babygirl ke aku (yang lucunya kalau aku sudah pulang kantor dan ada di rumah, mereka tidak bosan menggendong, giliran suamiku sudah ada di rumah mereka kasih babygirl ke suamiku). Aku kadang mikir, koq sepertinya aku yang harus nungguin kapan bisa menggendong bayiku padahal aku ibunya. Akhirnya setiap Sabtu dan Minggu (libur kantor), babygirl tidak pernah lepas dari tanganku. Kalau pun mereka menggendongnya, itu karena suamiku yang kasih waktu. Kadang ibu mertua "nyuri" dengan cara jalan-jalan di depan kamar kami. Kalau saja bayiku minum ASI, setidaknya aku pasti punya waktu menggendong dia. Tapi karena mertua pun bisa kasih minum (karena sufor), maka mereka semakin leluasa dan punya banyak kesempatan menggendong.

Ya, itu memang cucu mereka. Tapi mereka juga harus ingat, sang cucu tidak akan lahir kalau tidak ada ibunya. Karena itu, hargai ibunya. Bahkan harusnya mereka mendukungku untuk memberikan ASIX, bukan malah menekanku dan membuatku stress sehingga ASIku berhenti memproduksi dan mereka bilang biar kasih sufor saja. Sungguh, "perlakuan khusus" mereka itu selalu kuingat. Aku sudah ceritakan semuanya ini dengan suamiku namun tetap saja aku belum sepenuhnya sembuh dari "luka" karena ucapan dan perlakuan mereka itu. Entah kapan luka ini sembuh.

Hingga saat ini, aku ke kantor jarang pamit. Bangun pagi-pagi sekali, nyuci popok baby dan langsung mandi (mandi air dingin, tidak lagi mandi air hangat yang dulunya sering dipanaskah oleh ibu mertua), makan malam jarang, dan tidak mau lagi duduk di ruang tamu. Hari-hariku selain di kantor kuhabiskan antara kamar mandi (nyuci popok), ruang makan (buat sarapan) dan kamar tidur (bersama baby).
Aku tau mereka bisa merasakan perubahanku. Yang dulunya masih mau ngobrol dengan mereka sambil nonton, duduk di ruang tamu sambil ngitungin orang yang lewat dari depan rumah, atau sekedar nyapu rumah dan halaman belakang. Aku bisa rasakan kalau mereka (pasti) membicarakan perubahan sikapku. Bahkan sister and brother in law yang dirantau pun pasti tau tentang perubahanku (karena mereka selalu teleponan tiap hari). Sekutu terakhirku di rumah hanya suamiku (dan babygirl yang berusia 2 bulan 2 minggu ketika tulisan ini kuposting).

Harapanku satu-satunya adalah rumahku bisa berdiri dengan cepat (sekarang sedang tahap pembangunan). Aku ingin segera pindah dari rumah mertuaku. Ingin menata kembali kehidupanku (bersama suamiku tentunya). Dan jika Tuhan berkenan, semoga babygirl segera punya saudara babyboy. Aku sudah niatkan, jika Tuhan percayakan dan aku melahirkan lagi, bayiku akan ASIX, bahkan kakaknya (babygirl) pun akan ikut minum ASI. Semoga babygirl bertumbuh dengan baik meski tidak minum ASI. Niat itu (hanya) tercapai jika aku pisah dengan mereka. Karena apa? Karena aku takut "perlakuan khusus" mereka akan muncul lagi.

Itulah kisahku. Kisah pertama sejak terakhir aku memposting sesuatu di blog ini. Semoga tulisan-tulisanku ke depan bukan lagi kisah sedih di hari minggu (hiks..). Dan semoga Tuhan memaafkanku atas perubahan sikapku ke keluarga suamiku.